Gita Gutawa |
”kriing !!! kriing !!!”.
“plek…”.
“hooaahhmmm…”.
Jam weker itu kembali berdetak seperti biasa setelah belnya di tekan. Seorang gadis manis baru saja bangun dari tidurnya. Masih dalam keadaan mengantuk, dia mengumpulkan kesadarannya. Begitu merasa sudah segar, dia langsung bangun dari tempat tidur. Merapikan tempat tidurnya dan menaruh bantal dan guling dengan rapih. Ranjang itu sudah rapih lagi, tidak terlihat kalau baru habis dipakai.
“mmm….”, dia merenggangkan tubuhnya dan sedikit berolahraga di pagi hari yang indah itu. Dia melihat ke arah jam, baru jam 6.00. Dia pun memutuskan untuk mandi. Dia membuka keran air panas pada bak mandinya. Setelah hampir 1/4 bak terisi, dia membuka keran air dingin dan keluar kamar mandi. Sambil menunggu, gadis itu membaca buku Biologi, pelajaran yang lebih mudah dari pelajaran lainnya, menurutnya. Sesekali, dia kembali ke kamar mandi mengecek bak mandinya. Akhirnya, bak mandinya penuh juga. Gadis itu menaruh bukunya. Kini, dia sudah telanjang bulat. Tubuhnya memang kecil, tapi begitu padat dan sekal. Daerah kewanitaannya juga begitu sempurna. Benar-benar terawat, bulu-bulu halus menghiasi bukit kembarnya. Celah vaginanya pun masih tertutup rapat yang menandakan kalau daerah itu belum pernah di sentuh siapa pun bahkan oleh dirinya sendiri.
“aah…angeett..”, desahnya ketika tubuhnya sudah terendam sampai leher. Dia menuangkan sabun mandi cair ke dalam baknya.
“mm..mm..mm…”, senandungnya sambil asik menyabuni tubuhnya. Dia memutuskan untuk selesai. Dia keluar dari kamar mandi dengan jubah mandinya. Dia mematikan ac kamarnya, takut kedinginan. Dia mengambil seragam dari lemarinya. Sebelum memakai seragamnya, dia berdiri di depan kaca dan melepaskan jubah mandinya. Perhatiannya langsung tertuju ke satu bagian saat dia berdiri menghadap samping yaitu pantatnya.
“aduh…gimana ya caranya? gak enak banget diliatnya?”, tanyanya sendiri mengelus-elus pantatnya. Sudah 1 bulan ini, dia berpikir kalau pantatnya besar dan tak sedap dipandang. Pokoknya, tak pantas untuk gadis seusianya.
Padahal, dia sama sekali tak tahu kalau pantatnya begitu menggiurkan. Begitu bulat, padat, dan kenyal, saking kenyalnya ketika dipukul, pantatnya akan langsung bergetar. Dia tidak pernah tahu kalau banyak teman-temannya yang cowok ingin meremas atau setidaknya menepuk pantatnya yang montok itu.
“Gita !! ayo sarapan !!”.
“iya, Pah…sebentar…”. Setelah memakai pakaian dalam dan seragam SMAnya, dia membawa tasnya dan turun ke bawah untuk sarapan bersama ayahnya.
“ayo, Pah…kita berangkat…”, ujar Gita setelah selesai sarapan.
“kamu udah siap? gak ada yang ketinggalan?”.
“mm..kayaknya gak ada…”.
“yaudah kalo gitu…ayo berangkat…”.
“wah…lagi pada sibuk nih?”, sapa Gita ketika memasuki kelas.
“pr Bu Ida emang lo udahan?”, tanya Dini, teman baiknya yang juga sebangku dengannya.
“udah dong…namanya juga pr..ya gue kerjain di rumah lah…”, jawab Gita dengan riang.
“liat dong Git…”.
“nih…”. Gita hanya tersenyum saja melihat Dini sibuk menyalin pr.
“eh Dani…bengong aja…”.
“iya..”.
“lo udah prnya?”.
“udah, Git…”.
“wah…rajin ya…”. Dani hanya tersenyum saja.
Dani sebenarnya anak yang pintar dan rajin, tapi dia jarang ngobrol, jadi tak heran kalau teman-temannya memanggilnya invisible man (ada nggak ada sama aja). Gita sering mengajaknya mengobrol dan kadang minta diajarin. Gita memang ramah dengan semua temannya tanpa terkecuali, dia selalu senyum dan riang setiap harinya. Dan tak ada satu pun tahan jika Gita sudah tersenyum. Gemas ingin mencubit pipinya karena senyumnya yang manis yang dihiasi dengan gigi gingsulnya.
“selamat pagi anak-anak…”.
“selamat pagi, Pak…”.
“kemarin pelajarannya sampai mana?”.
Gita sangat senang dengan pelajaran matematika yang diajari Pak Angga karena cara mengajarnya yang santai dan diselingi candaan yang lucu membuat pelajaran matematika jadi menyenangkan. Pak Angga pun baik, ramah, murah senyum, dan yang paling disenangi murid-muridnya adalah murah nilai sehingga nilai matematika murid-muridnya jadi bagus.
“oh iya…bapak lupa absen…bapak absen dulu ya…”.
“Adiansyah..”.
“ya, Pak !”.
“Agung Prasetyo..”.
“hadir, Pak…”.
“Aluna Sagita..”.
“disini, Pak..”.
“ya, besok kita lanjutin lagi…”, tambah Pak Angga setelah selesai mengabsen Yudi, murid ke 37 yang merupakan murid terakhir di kelas. Hari pun berlangsung seperti biasanya. Selalu semangat seperti biasanya, Gita tetap kelihatan lincah dan segar sedangkan teman-temannya sudah lemas dan mengantuk.
“Git…ntar gue ama Lina mau nonton…ikut yuk?”.
“sori nih Din…ntar gue ada acara…”.
“cie…tau deh yang sibuk..”.
“ye…iri ya?”, candanya.
“uuhh…”, Dini gemas mencubit pipi Gita.
“aduw..duh…sakit, Din…”.
“hehe…yaudah sana, Git…”.
“yee…ngusir nih ya..”. Dini dan Gita memang biasa bercanda sampai saling cubit dan saling kelitik. Gita pulang ke rumahnya dijemput ayahnya. Setelah sampai di rumah, Gita langsung mandi dan mengenakan pakaian perginya serta mengambil pakaian pentasnya. Sebelum pergi, Gita meminum obat penambah stamina yang merupakan rahasianya tetap segar sepanjang hari.
“kamu udah selesai make-up?”.
“udah Mbak Dina…”.
“yaudah..abis ini kamu…”.
“oke Mbak…”. Gita pun bersiap memasuki panggung bersama penari latarnya.
“kita sambut Gita Gutawa !!”. Gita pun naik panggung. Dia menyanyikan lagunya dengan lincah. Penonton menikmati nyanyian Gita.
“aduh…capek juga…”, keluhnya sudah dalam perjalanan pulang.
“besok kamu ada pr?”.
“gak ada, Pah…”.
“yaudah..langsung tidur ntar..”.
“pasti dong, Pah…hhooahhmm..”.
Erwin mengangkat anaknya ke kamar. Dia menyelimuti anaknya yang ketiduran sejak di mobil tadi. Keesokan paginya, Gita berangkat ke sekolah seperti biasanya.
“Git..minta tambahan ama Pak Angga yuk…”.
“ayo boleh…gue juga masih ada yang belom ngerti…tapi di rumah siapa?”.
“di rumah Pak Angga aja…”.
“emang Pak Angganya mau?”.
“mau…tadi gue udah nanya..”.
“terus kapan?”.
“minggu aja..gimana?”.
“oke..kebetulan gue juga gak ada acara minggu…”.
“sip deh..”.
Hari minggu pagi, Gita pun bersiap untuk pergi ke rumah Pak Angga.
“Pah…nanti jemput Gita sekitar jam 1 ya…”.
“iya sayang..nanti Papa jemput jam 1..”.
“daah…”.
“permisi..”, ucap Gita sambil menekan bel yang ada di samping pagar.
“sebentar !!”, jawab seseorang dari dalam.
Tak lama kemudian, Pak Angga keluar dari dalam rumahnya.
“eh kamu Gita…mana temen-temen kamu? kok kamu sendirian?”.
“tadi saya dianterin Pak…emang yang lain belum dateng ya, Pak?”.
“belum…yaudah..kamu masuk aja…kita tunggu di dalem…”.
“iya, Pak…”.
“ayo Gita…silahkan duduk…”.
“iya, Pak…”.
“kamu mau minum apa?”.
“nggak usah, Pak…ngerepotin…”.
“nggak apa-apa…masa ada tamu..gak disediain apa-apa…bapak bikinin sirup ya?”.
“ngg…gak apa-apa, Pak?”.
“iya..nggak apa-apa…sebentar ya…”. Pak Angga kembali lagi dengan membawa 2 minuman.
“ayo Gita…silakan minum…”.
“makasih Pak…”.
Mereka mengobrol sampai semua telah datang. Gita, Dini, Nita, Putri, dan Karina pun belajar dengan semangat karena Pak Angga mengajar dengan diselingi candaan. Sebenarnya godaan juga bagi Pak Angga yang sudah ditinggal istrinya bercerai sejak 3 tahun lalu. Bagaimana tidak? di rumahnya sekarang, dia bersama 5 muridnya yang semuanya cantik jelita. Nita dan Putri yang wajahnya seperti wanita-wanita Uzbekistan. Karina yang berwajah oriental, hampir mirip seperti Lena Tan. Dan Dini, wajah dan lekuk tubuhnya sudah seperti model, kaki dan lehernya jenjang serta kulitnya putih mulus, membuat jakun pria yang melihatnya menjadi naik turun. Belum lagi, di sana ada seorang Gita Gutawa. Seorang penyanyi yang tak diragukan lagi akan menjadi diva selanjutnya. Suaranya yang khas, sifatnya yang rendah hati serta ramah dan pintar membuat banyak orang menjadi fansnya. Ditambah wajahnya yang asli Indonesia dengan senyuman yang manis, tak heran banyak orang yang senang kepadanya.
“gimana? udah pada ngerti?”.
“ya, Pak…ternyata cuma gitu doang ya…”.
“makanya…kalau bapak nerangin di kelas…jangan ngelamun…”.
“hehe…”.
Mereka berenam pun mengobrol dengan asiknya sampai jam setengah 1 siang.
“yaudah, Pak…kita pulang dulu deh…pasti bapak pengen istirahat..”, ujar Nita.
“oh iya…kita pulang dulu ya, Pak…”. Pak Angga mengantar mereka sampai depan gerbang.
“Git? ayo kita pulang?”.
“gue mau dijemput ntar…”.
“oh yaudah…kita duluan ya..”.
Yang lain pun sudah jauh, sementara Gita masih ada di samping Pak Angga.
“Pak…saya boleh nunggu di sini kan?”.
“oh ya tentu boleh…nunggunya di dalem aja…”.
“iya, Pak…makasih…”.
Gita dan Pak Angga kembali masuk lagi ke dalam rumah.
“Gita…kamu apa nggak capek? sekolah tambah manggung?”, tanya Pak Angga memecah kesunyian.
“ya pertamanya sih agak capek…tapi sekarang udah biasa…jadinya udah nggak capek lagi, Pak…”.
“oh…kamu hebat ya…sibuk nyanyi…tapi tetep pinter di sekolah…”.
“ah nggak, Pak…Ayah saya suka ngajarin saya kalau di rumah…”.
“oh gitu…”.
“oh ya, Pak…boleh saya nanya sesuatu?”.
“boleh…kamu mau nanya apa?”.
“Bapak tinggal di sini sendirian ya, Pak?”.
“iya…bapak sendirian di sini…”.
“lho? terus istri dan anak bapak di mana tinggalnya?”.
“anak Bapak tinggal sama mantan isteri Bapak…”, jawab Pak Angga pelan.
“oh…maap, Pak….saya nggak tahu…”.
“iya..nggak apa-apa…”.
“sebentar ya, Pak…”, ujar Gita merogoh kantongnya.
“halo, Pah?? Papa ada dimana?”.
“sayang…Papa belom bisa jemput kamu…Papa masih ada urusan…”.
“terus kapan Papa jemput Gitanya?”.
“baru bisa nanti sore…sekitar jam 3an…”.
“oh yaudah deh…kalo gitu Papa nggak usah jemput…Gita pulang sendiri aja deh…”.
“gak apa-apa?”.
“nggak apa-apa…yaudah Pah…katanya sibuk..”.
“iya…yaudah…kamu ati-ati pulangnya…”.
“iya, Pah…”.
“kenapa, Git?”.
“ini, Pak…Ayah saya nggak jadi jemput…kalo gitu saya pulang deh, Pak…”.
“terus kamu pulang sendirian? naek apa?”.
“iya, Pak…paling naik taksi, Pak..”.
“Bapak anter aja ya? masa kamu pulang sendirian?”.
“nggak apa-apa, Pak…kalo dianterin terus…ntar saya nggak bisa kemana-mana sendiri…”.
“iya tapi kan bahaya…kamu kan terkenal? kalo ada yang culik kamu?”.
“nggak apa-apa, Pak…saya pulang dulu kalo gitu…”.
“yaudah deh…hati-hati ya…”. Baru beberapa menit Gita keluar dari rumah Pak Angga, hujan langsung turun dengan sangat deras.
“tok..tok…tok…”.
“lho? Gita?”.
“maaf, Pak…saya keujanan…saya bingung neduh di mana…”. Gita memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Angga karena dari rumah Pak Angga menuju jalan besar memang cukup jauh. Mau meneduh di rumah orang, Gita takut, jadi dia kembali saja ke rumah Pak Angga yang memang masih dekat.
“oh ya…kamu nunggu di jemput di sini aja…kayaknya ujannya lama berhentinya…”.
“makasih, Pak…”.
“kamu duduk dulu…”. Tak lama kemudian, Pak Angga kembali dengan membawa teh hangat.
“makasih, Pak…”.
Tanpa disengaja, mata Pak Angga tertuju ke arah payudara Gita. Kaos putih yang dikenakan Gita menjadi transparan karena basah terguyur air hujan. Tonjolan payudara Gita yang terbungkus bhnya jadi tercetak jelas di kaos putihnya. Gita juga baru sadar, dia berusaha menutupi dengan lengan kirinya.
“sebentar ya, Git…”, Pak Angga jadi malu sendiri tertangkap basah oleh Gita sedang memandangi payudaranya. Pak Angga masuk ke dalam kamarnya dan membuka lemarinya. Pak Angga terdiam, wajah Gita terlintas di pikirannya. Entah darimana bayangan itu bisa tercipta, tapi yang jelas di otak Pak Angga terbayang Gita yang terbaring pasrah tanpa sehelai benang pun.
“nggak..nggak boleh…”, Pak Angga menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menyingkirkan ‘gambar’ itu dari otaknya. Tak pantas baginya membayangkan muridnya yang masih sangat muda itu. Tapi, tak bisa dipungkiri, membayangkan Gita sebentar saja, batang kejantanannya menjadi tegak dan keras. Pak Angga menghembuskan nafas beberapa kali untuk ‘menenangkan’ dirinya.
“ini Gita…baju kamu basah…pakai baju bapak biar nggak sakit…”.
“mm…saya minjem payung aja deh, Pak…”.
“payung? sebentar ya…”, Pak Angga buru-buru mencari payungnya, takut ‘gambar’ itu kembali dan keadaan jadi tak terkendali.
“maaf Gita…kayaknya payung bapak rusak semua…ada 1 tapi agak macet..”.
“sini biar saya coba, Pak…”.
“eerrgghhh…”, Gita berusaha sekuat, tapi payung itu tetap tak mau terbuka.
“mm..”. Gita kebingungan, tinggal di sini, tapi risih dengan pandangan Pak Angga atau lanjut keluar, basah-basahan dengan kaos yang jadi transparan yang bisa mengundang reaksi sama dengan Pak Angga.
“Gita…kamu tunggu aja dulu di sini…”. Gita mengangguk pelan dan kembali duduk.
“ini Gita…kamu ganti baju dulu di kamar bapak…”.
“makasih, Pak…”. Gita masuk ke kamar. Dia melepas kaosnya yang basah dan melipatnya dengan rapi. Branya juga agak basah. Gita celingak celinguk lalu mengunci pintu kamar. Gita membuka pengait branya dan melepas branya. Kedua buah payudara Gita yang begitu bulat, padat, nan ranum itu langsung meloncat keluar. Tak sengaja, tali bra mengenai puting kanannya yang agak mengeras karena kedinginan. Gita merasa ada sensasi aneh menggelitik yang menjalar seketika di sekujur tubuhnya.
Gita penasaran, dia sentuhkan jari telunjuknya ke puting kirinya. Rasa aneh itu datang lagi, tapi hanya sekejap. Gita memang tahu tubuh wanita memang sensitif apalagi di daerah-daerah tertentu, tapi selama ini, Gita salah menduga, pikirnya sensitif itu menimbulkan ngilu, bukan rasa aneh yang dia rasakan saat ini. Gita menyentuh putingnya lagi, kali ini dia sedikit mengitarinya.
“mmm…”, Gita mengikuti instingnya, dia memilin-milin putingnya. Kedua tangannya kini aktif memelintir kedua putingnya sendiri. Gita yang tadi was-was, kini larut dalam ‘permainan’ barunya. Dia meremas-remas gunung kembarnya dengan lembut. Matanya tertutup, gumaman pelan keluar dari mulutnya.
“hhmm…”, Gita benar-benar meresapinya.
“ckkleek…”.
“ha?”. Gita benar-benar kaget, Pak Angga masuk ke dalam dan langsung menyergapnya, menahan kedua tangannya.
“Pak..lepasin !! lepasin !!!”, Gita meronta-ronta, tapi Pak Angga menahannya dengan kuat. Pak Angga sudah gelap mata karena dari tadi dia mengintip lewat ventilasi di atas pintu.
Tangan Pak Angga mencengkram payudara kanan Gita. Diremas-remas ‘buah’ yang masih ranum itu. Begitu padat, begitu kenyal, begitu ‘pas’ untuk digenggam dan diremas.
“tolong jangan…Pak”, pinta Gita memelas dengan nada yang mulai melemah. Gita tak bisa memungkiri, remasan Pak Angga terasa lebih nikmat daripada remasannya sendiri.
“Pak…jang…aaann…”. Gita sudah tak melawan lagi, dia membiarkan Pak Angga yang kini asik memainkan payudaranya.
Pak Angga yang memang tidak terlalu tinggi bisa menciumi tengkuk leher Gita dengan mudah. Gita pun makin terbuai dalam kenikmatan dari rangsangan Pak Angga. Nafsu Pak Angga pun semakin menggelora menghirup aroma tubuh Gita yang wangi. Gita hanya bisa berdiri dengan menyender ke Pak Angga dan membiarkan kedua buah payudaranya menjadi ‘sasaran’ empuk bagi tangan Pak Angga.
“Paakkhhh…”, lirihan Gita yang sebenarnya masih penolakan malah terdengar seperti desahan keenakan di kuping Pak Angga sehingga Pak Angga semakin bersemangat ‘memainkan’ payudara Gita.
Gita merasa selangkangannya sedikit basah. Tiba-tiba, ada benda yang mendekati daerah pribadinya. Gita melihat ke arah bawah pinggangnya, ternyata tanpa Gita sadari, Pak Angga sudah membuka kancing dan resleting celananya dan sudah menyusupkan tangannya.
“mmmhhh…”, Gita tak pernah menyangka daerah pribadinya bisa menimbulkan sensasi nikmat yang begitu hebat jika dielus-elus seperti sekarang, lebih nikmat dibandingkan tadi. Pak Angga semakin nafsu ‘merogoh’ celana dalam Gita karena desahan dan lirihan Gita dengan suaranya yang lembut begitu menggairahkan. Gita merasa ada yang ingin keluar dari alat kelaminnya, perasaan yang hampir sama saat ingin buang air kecil, tapi dorongan yang sekarang berbeda. Tak bisa ditahan.
“eeennnhhh !!!”, lenguh Gita, tubuhnya menegang, kedua pahanya merapat, menjepit tangan Pak Angga hingga terjebak di selangkangan Gita. Wajah Gita memerah, malu, tapi lega setelah ada yang keluar dari vaginanya.
Pak Angga mengeluarkan tangannya dan kini meloroti celana Gita. Gita malah bekerja sama, seperti tersihir, mengangkat kedua kakinya bergantian sehingga hanya tinggal cd berwarna pink yang sudah basah kuyup yang melekat di tubuhnya. Celana dalam Gita basah tepat di daerah tengahnya membuat isinya samar-samar terlihat oleh Pak Angga yang menjadi semakin tak sabar apa yang terbungkus di dalamnya. Pak Angga mengangkat lalu menaruh Gita di tempat tidurnya. Pak Angga menarik cd Gita perlahan, dan Gita sendiri tak berusaha sedikit pun untuk mempertahankan satu-satunya pakaian yang tersisa di tubuhnya. Mata Pak Angga nanar melihat pemandangan yang indah itu. Bukit kembar Gita hanya ditumbuhi bulu-bulu halus. Bibir vaginanya masih tertutup benar-benar rapat. Tak usah dikatakan, pasti semua lelaki langsung tahu kalau vagina Gita belum pernah dijamah sama sekali bahkan oleh pemiliknya sendiri. Tanpa buang waktu, Pak Angga membuka kedua paha Gita dan langsung ‘merayap’ masuk mendekati daerah kewanitaan Gita.
“heemmhhh…”, desah Gita saat Pak Angga mulai menciumi vaginanya.
Tangan Gita secara refleks berusaha menjauhkan Pak Angga yang melakukan ‘invasi’ ke daerah pribadinya.
“mmpphhh…”, Gita mengigit bibir bawahnya merasakan sensasi yang sangat luar yang bersumber dari selangkangannya. Tak pernah terpikir oleh Gita, rasa nikmat yang amat hebat bisa ditimbulkan alat kelaminnya yang sedang diciumi dan dijilati oleh Pak Angga. Tubuh Gita berkedut-kedut setiap kali lidah Pak Angga mengenai klitorisnya. Perasaan yang sama seperti yang tadi Gita rasakan, ada yang mau meledak dari dalam tubuhnya dan ingin keluar melalui alat kelaminnya, tapi kali ini rasanya lebih mendesak dan dorongannya lebih kuat dari sebelumnya.
“eennn….NNNHHHH !!!”, lenguh Gita diiringi tubuhnya yang menegang dan kedua kakinya yang merapat.
“sssrrrppp !!!!”, bunyinya sangat keras. Meski masih terbuai dalam kenikmatan, Gita masih bisa berpikir memandangi Pak Angga yang masih ‘betah’ dan kelihatannya sedang menyeruput suatu cairan dari alat kelaminnya.
Apa Pak Angga tidak jijik menyeruput cairan dari alat kelamin gue? pikir Gita. Pak Angga menahan kedua paha Gita. Pak Angga terus menyeruput cairan vagina Gita yang melimpah ruah. Mungkin karena belum pernah dikeluarkan, cairan vagina Gita mengalir keluar seperti tanggul air yang bocor. Setelah yakin, tak ada lagi cairan vagina Gita yang tersisa untuk diminumnya, Pak Angga bangkit dan mulai menelanjangi dirinya sendiri. Gita hanya memperhatikannya dengan nafas yang tersengal-sengal. Mata Gita terbelalak melihat alat kelamin Pak Angga. Baru kali ini, Gita lihat alat kelamin pria secara langsung, biasanya dia hanya melihat di buku biologi saja. Ternyata, beda sekali dari buku biologi. Pak Angga naik ranjang lagi dan melebarkan kedua paha Gita untuk kedua kalinya.
“Paak…jangannn…”, lirih Gita memohon sebagai bentuk terakhir perlawanannya untuk menjaga kesucian tubuhnya.
Pak Angga tak mengindahkan Gita, sekarang dia hanya berpikir nikmatnya menerobos liang vagina Gita yang masih sangat rapat. Kepala penis Pak Angga pun sudah menempel dengan bibir vagina Gita. Dengan memegang pinggang Gita, Pak Angga mulai mendorong penisnya. Perlahan tapi pasti, ‘topi baja’ Pak Angga mulai mendongkrak sela-sela bibir vagina Gita. Mau tak mau, lubang vagina Gita yang masih rapat harus membuka dirinya untuk menerima benda asing yang sedang berusaha masuk.
“hhnnnnpphhh…”, wajah Gita menunjukkan kalau dia sedang menahan rasa pedih yang luar biasa. Air matanya sampai keluar sedikit. Seperti ada sesuatu yang robek saat ‘pentungan’ Pak Angga hampir 1/2nya memasuki liang vagina Gita. Kesucian tubuhnya yang selama ini terjaga dengan baik, diambil oleh Pak Angga, gurunya yang sangat ia hormati. Burung Pak Angga sudah menyesakki vagina Gita. Pak Angga diam untuk menikmati kerapatan dinding vagina Gita yang sangat luar biasa. Pak Angga merasa penisnya seperti disedot lalu dicengkram dengan sangat kuat seolah-olah vagina Gita tak memperbolehkan penis Pak Angga keluar. Benar-benar hangat dan sempit liang vagina Gita. Pak Angga mulai memaju-mundurkan pinggulnya dengan perlahan.
“eeennhhhh…”, Gita meringis kesakitan. Dia menggigit bibir bawahnya sendiri dengan kuat untuk menahan rasa ngilu dan pedih yang sedang ia rasakan di vaginanya. Vaginanya terasa seperti terbakar dan akan robek saja. Tak pernah Gita merasa seperti ini, bagian bawah tubuhnya terasa penuh sesak. Selang waktu berlalu, ‘gosokan’ penis Pak Angga terhadap vagina Gita semakin cepat. Ekspresi wajah Gita yang tadi terlihat menahan rasa pedih yang amat sangat, kini terlihat lebih rileks malah terlihat mulai menikmatinya.
“eemmhhh…hhmmm…”, desahan lembut mulai keluar dari mulut mungil Gita. Gita sendiri tak mengerti desahan bisa keluar dari mulutnya dan lebih membingungkan lagi, alat kelaminnya dan alat kelamin Pak Angga yang terus menerus bergesekkan yang tadinya pedih sekali, kini berubah jadi rasa nikmat yang luar biasa.
“tee…ruuuss…hhh..”, desah Gita pelan dan lembut.
Melihat ekspresi Gita dan desahannya, nafsu Pak Angga semakin meledak. Pak Angga menyodokkan penisnya kuat-kuat sampai mentok di dalam liang vagina Gita.
“akhh ! akhh !”, rintih Gita karena masih ada rasa ngilu. Tapi, lama kelamaan rasa ngilu itu sirna dan menjadi rasa nikmat yang total. Tubuh Gita mulai berkeringat karena panasnya permainan. Pak Angga langsung memagut bibir Gita yang terlihat begitu menggiurkan untuk dilumat.
“mmpphhh…mmpphhh…”, desah Gita tertahan bibir Pak Angga. Pak Angga mendekap tubuh Gita lebih erat dan tanpa sadar, Gita memeluk tubuh Pak Angga juga sehingga tubuh mereka berdua yang berpeluh keringat saling menempel erat. Tubuh sepasang wanita dan pria yang berbeda generasi saling menempel erat dan dihubungkan oleh alat kelamin mereka yang bersatu dengan sangat kokoh. Gita merasa vaginanya seperti diaduk-aduk saat Pak Angga mulai menggerakkan pinggulnya memutar. Tak beberapa lama, pelukan Gita tiba-tiba menjadi kencang dan tubuh Gita bergetar dan menegang. Tandanya, Gita sedang mendapatkan orgasmenya. Kedua insan yang sedang menikmati surga duniawi itu kini begitu kompak menyelaraskan kelamin mereka masing-masing. Padahal, tadinya adalah pemerkosaan, tapi kini Gita malah menggoyang-goyangkan pinggulnya agar ‘rudal’ Pak Angga semakin terkocok-kocok sehingga bisa merasa nikmat. Gita tak mengerti kenapa dia menggoyang-goyangkan pinggulnya sendiri seperti seorang psk yang sedang berusaha keras mencapai puncak sekaligus memuaskan sang pria. Ini benar-benar salah, dalam hati kecil Gita. Tapi, Gita tak bisa mengendalikan tubuhnya yang bergerak secara insting alamiah. Insting alami dari makhluk hidup untuk bereproduksi. Batang kejantanan Pak Angga tertancap kokoh di vagina Gita. Keluar masuk dengan irama yang berubah-ubah. Desahan-desahan terus mengalun lembut dari mulut Gita. Lama-kelamaan, suara Gita pun tak terdengar lagi, mulutnya terbuka, tapi tak keluar suara karena terlalu lemas setelah orgasme berkali-kali. Malang bagi Gita, baru pertama kali, tapi sudah berhadapan dengan Pak Angga yang memang tahan lama menyetubuhi wanita.
Pak Angga terus mengaduk-aduk vagina Gita, sangat menikmati jepitan kencang dari dinding vagina Gita. Berkali-kali orgasme membuat Gita semakin lemas. Tak lama kemudian, Pak Angga mendekap Gita. Pompaannya semakin cepat.
“EENNGGGHHH !!!”, lenguh Pak Angga sambil menekan batangnya yang kokoh itu sampai mentok. Gita merasa liang vaginanya disemprot oleh suatu cairan. Cairan yang membuat vaginanya terasa hangat sekaligus terasa nyaman. Tak nampak tanda-tanda Gita berusaha mengeluarkan penis Pak Angga dari vaginanya. Dia membiarkan Pak Angga terus menyirami rahimnya. ‘ular’ Pak Angga pun belum berhenti muntah ke dalam vagina Gita. Mungkin karena terlalu lemas, makanya Gita tidak berbuat apa-apa. Begitu semprotannya sudah mereda, Pak Angga pun ingin mencabut ‘selang’nya, tapi agak kesusahan karena vagina Gita sepertinya kian lama kian menyempit sehingga penis Pak Angga bagai terjepit dan terjebak di dalam vagina Gita.
Selang beberapa detik, penis Pak Angga pun menyusut. Pak Angga memandangi vagina Gita. Tatapan penuh kepuasan terpancar jelas dari mata Pak Angga. Dirinya merasa puas sekali, lega sekali. Mungkin lega karena telah melampiaskan nafsunya ke gadis muda yang manis itu. Tak pernah nafsunya tinggi seperti tadi. Keringatnya pun masih bercucuran akibat menggempur Gita dengan penuh semangat. Lalu tanpa bilang a, b, c, Pak Angga keluar kamar. Gita terkulai lemas di ranjang, selangkangannya terasa begitu perih dan panas, bahkan untuk merapatkan kedua pahanya saja rasanya tak sanggup. Air mata mengalir keluar dari sela-sela kedua mata Gita. Semuanya telah hancur, pikir Gita. Tak ada lagi masa depannya yang cerah. Tubuhnya telah kotor. Gita tak tahu bagaimana nasibnya nanti yang pasti tak akan sama seperti sebelumnya. Meski dalam keadaan seperti itu, Gita tak kuasa menahan kantuknya, ia pun tertidur, kelelahan. Begitu bangun, Gita langsung mengecek ‘gudang’nya. Ada bercak merah yang bercampur dengan warna putih kental di dekat lubang vaginanya dan di sprei di bawah vaginanya.
Gita pun duduk dan memeluk kedua pahanya. Aliran air mata langsung membasahi pipinya. Air matanya mengalir karena sedih bercampur putus asa sekaligus marah sedang berkecamuk di dalam hatinya, dan lebih buruk lagi, Gita tahu dia tak bisa bercerita ke siapa pun tentang hal yang baru dialaminya. Bercerita kepada ayahnya saja rasanya tidak mungkin, apalagi bercerita ke temannya atau lapor ke polisi, mengingat statusnya sebagai artis yang tentu sangat dipengaruhi oleh kabar-kabar positif atau negatif. Gita langsung memandangi dan mengelus-elus perutnya, dia benar-benar khawatir, sperma guru sialannya itu kini ada di rahimnya, sedang berusaha membuahi sel telurnya yang sebenarnya belum siap untuk menerima sperma. Gita bangkit dan mengenakan pakaiannya. Gita keluar kamar dan segera mengambil tasnya. Andai saja, rasa ingin tahunya tentang tubuhnya tidak besar, mungkin ini tak pernah terjadi, mungkin dia masih menjadi kembang perawan. Gita tak mencari keberadaan Pak Angga, dia langsung keluar rumah dan naik taksi untuk segera pulang. Sampai rumah, Gita langsung masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintunya. Sejak saat itu, Gita yang tadinya periang dan selalu tersenyum kini jadi pendiam dan suka murung. Ayahnya pun menyadari perangai anaknya yang berubah, sepulang sekolah, Erwin mengajak anaknya makan di rumah.
“Gita..kamu kenapa? akhir-akhir ini..kamu lebih diem?”.
“nggak, Pah..”, jawab Gita sambil berusaha tersenyum.
“Papa tau kalo kamu lagi ada masalah..”.
“ngg…”. Ingin sekali Gita bercerita tentang kejadian yang dialaminya, tapi akibatnya bisa beruntun nantinya.
“nggak, Pah…Gita lagi berantem ama temen Gita..”, jawab Gita bohong.
“ouh..kenapa kamu bisa berantem?”.
“biasa, Pah…sesama cewek sering berantem..”.
“oh..”, Erwin pun merasa tidak perlu ikut campur dengan masalah anaknya. Hati Gita benar-benar bingung. Apakah kebohongannya itu untuk kebaikannya atau malah bisa memperburuk keadaan?.
Teman-temannya di sekolah pun menyadari perubahan sikap Gita. Gita hanya bisa berbohong dan terus berbohong sambil berusaha kembali bersikap seperti biasanya. Jika berpapasan dengan Pak Angga, Gita langsung berusaha menghindar dan menjauhinya. Hari demi hari berlalu, meski masih terekam di dalam ingatannya, lama kelamaan Gita tidak terlalu memikirkan kejadian waktu itu.
“Gita…tunggu…”.
“permisi, Pak…”, kata Gita sambil menarik tangannya yang dipegang Pak Angga.
“Gita..bapak mau bicara tentang kejadian waktu itu..”. Gita tak menjawab dan langsung pergi. Meski Gita tak mau berbicara lagi dengan Pak Angga, tapi Gita tak bisa menghilangkan bayangan kejadian waktu itu dari pikirannya. Saat-saat yang memilukan, tapi juga menyenangkan. Berbicara dengan Pak Angga kemarin membangkitkan memori saat itu. Gita bangkit dari tempat tidurnya dan berdiri di depan cermin besarnya. Cermin besar yang biasa dia gunakan untuk mengecek penampilannya, berlatih menyanyi, dan menaikkan rasa percaya dirinya sebelum mengisi sebuah acara. Tiba-tiba Gita melepaskan pakaiannya sendiri tanpa ragu-ragu. Gita berdiri di depan cermin, tubuhnya yang tak tertutup apa-apa terpampang jelas di cermin besar itu. Kedua tangan Gita menampung payudaranya sendiri dan melihat ke daerah segitiganya. Gita tak pernah menduga, daerah pribadinya itu sekarang sudah tidak ‘bersih’ lagi. Benda tumpul telah merusak kesuciannya. Tiba-tiba, Gita teringat kejadian waktu itu. Saat penis Pak Angga menyeruak masuk ke dalam vaginanya. Ada rasa gatal terasa di sekujur tubuh Gita. Apalagi vaginanya, seperti mengundang untuk digaruk. Gita menggaruk di sekitar vaginanya, tapi sumber gatal itu seperti tak kena, malah agak terasa perih. Saat jarinya tak sengaja menyentuh bibir vaginanya, barulah Gita merasa garukannya mengenai targetnya. Tapi, Gita tak berani menggaruknya, takut melukai bagian vitalnya. Gita mengelus-elus bibir vaginanya. Benar saja, rasa gatal itu seketika hilang. Dan rasa nikmat pun menggantikannya.
“hhmm…”, mata Gita terpejam dan melirih pelan.
Seketika tangannya berhenti, rasa gatal itu muncul kembali sehingga Gita pun tak kuasa menghentikan gerakan tangannya untuk terus mengelus-elus daerah sensitifnya itu. Gita agak kaget saat merasa ada aliran listrik yang menjalar di sekujur tubuhnya saat jarinya menyentuh sesuatu.
Gita membuka matanya dan melihat ke arah selangkangannya sendiri. Ada tonjolan daging agak merah muda. Gita ingat, waktu itu Pak Angga senang sekali memainkan bagian tubuhnya yang ini. Gita pun menyentuh bagian itu berkali-kali. Setiap disentuh, tubuhnya seperti dikejut listrik. Usai menentukan bagian itu tak berbahaya jika tersentuh, Gita pun mulai mengusap-usapnya.
“eemmhhh…”, desahan lembut mengalun merdu dari mulut Gita.
Tanpa berpikir, tangan kiri Gita mengelus-elus bibir vaginanya dan tangan kanannya terus memainkan ‘tombol’nya. Rasa nikmat itu semakin menjadi-jadi. Gita tak bisa berpikir lagi, sedang apa dirinya, dimana dia, bahkan tak ingat siapa namanya karena dikuasai rasa nikmat yang tiada tara.
“oohhh !! ooohhh !!!”, nafsu Gita terasa semakin memuncak, seperti akan mendapatkan sesuatu.
“NNNGGHHHH !!”, lenguh Gita dengan kepala mendongak ke atas dan tubuh yang menegang. Kedua pahanya merapat menjepit tangan kirinya sendiri.
“hhh..hh…”, Gita berpegangan pada tembok dengan tangan kanannya. Dengan susah payah, akhirnya Gita bisa menyender ke tembok tapi merosot dan akhirnya ia terduduk.
“hhh…hhh…”, nafas Gita masih belum teratur sementara cairan vaginanya masih mengalir dari sumbernya karena vagina Gita memang masih ‘kaya’ dengan cairan sehingga tak heran cairannya masih mengalir bagai sungai. Gita memandangi tangan kirinya yang sedikit terkena cairan vaginanya.
“Gita !! ayo siap-siap !! sebentar lagi kamu show !!!”.
“iyaa…hhh…Paaahhh…”, jawab Gita sebisanya. Gita pun berdiri dan merembet ke tembok menuju kamar mandi untuk bersiap menuju shownya. Semenjak hari itu, Gita jadi sering menghabiskan waktunya di kamar.
Gita yang tak pernah kenal dengan kenikmatan duniawi sebelumnya, kini jadi kecanduan ‘bereksperimen’ dengan alat kelaminnya itu. Gita ketagihan dengan sensasi nikmat yang ia rasakan, apalagi rasa lega setelah tubuhnya mengejang karena tubuhnya terasa begitu ringan saat itu. Semakin hari, semakin tak terkendali. Setiap 2 jam sekali, tangan Gita rasanya gatal ingin menyentuh daerah pribadinya, dan anehnya Gita tak bisa mengendalikan keinginannya. Gita semakin kerepotan, di sekolah dia harus izin ke toilet setiap 2 jam sekali untuk menghilangkan rasa ‘gatal’nya. Di show pun, dia harus melepaskan rasa itu sebelum naik panggung.
“Gita…”.
“Pak Angga?”.
“Gita…bapak mau minta maaf…bapak bakal tanggung jawab…tolong Gita..jangan lapor polisi…”. Gita langsung berpikir, mungkin Pak Angga bisa membantunya menyembuhkan ‘penyakit’nya, lagipula kejadian itu telah berlalu, meski tidak memaafkan Pak Angga, toh keperawanannya tak kan kembali.
“mm..Pak…bisa bicara di tempat lain?”.
“oh…ayo Gita..kita ngomong di tempat lain…”.
Mereka masuk ke dalam mobil Pak Angga. Mereka berdua berbicara dari hati ke hati sambil menuju ke rumah Pak Angga. Pak Angga sama sekali tak menduga, Gita mau menerima permintaan maafnya. Malah Gita bertanya-tanya kenapa Pak Angga bisa sampai memperkosanya. Pak Angga benar-benar bingung dengan jalan pikiran Gita. Saat sedang mengobrol, Pak Angga menyadari sepertinya Gita kepanasan.
“kamu kenapa, Gita?”.
“ng..nggak..Pak..”, posisi duduk Gita mulai terasa tak nyaman. Gita gelisah ke sana kemari seperti orang ambeien. Gita menggigit bibir bawahnya, menahan keinginannya. Masih ada rasa malu untuk menyelipkan tangannya ke dalam cdnya sendiri untuk ‘menggaruk’ vaginanya mengingat ada Pak Angga. Tapi, tentu Gita belum bisa menahannya sehingga tanpa sadar tangannya mulai ‘menyusup’.
“itu kamu gatel ya, Git?”.
“hm..emhh..”.
“sini..biar bapak bantu…”. Tanpa menunggu respon Gita, Pak Angga langsung menyelipkan tangannya ke dalam rok abu-abu Gita.
Sebenarnya Gita ingin mengeluarkan tangan Pak Angga, tapi daerah sensitifnya keburu tersentuh Pak Angga.
“aahh…”. Jari tengah Pak Angga sudah bergerak naik-turun di belahan bibir vagina Gita. Mengelus-elus pangkal paha Gita yang memang sudah terasa ‘panas’ bagi Gita. Gita mengeluarkan tangannya sendiri seolah-olah Gita memberikan keleluasaan bagi Pak Angga. Pak Angga pun tersenyum, nafsunya semakin tinggi untuk ‘merogoh-rogoh’ ke dalam rok Gita.
“aahhh…uummhhh…”, tubuh Gita semakin panas dan tanpa sadar Gita melebarkan sendiri kedua pahanya.
“eemmmhhh !!!”, desah Gita saat merasa ada suatu benda sedang ‘mengebor’ kemaluannya. Kebetulan jalan yang dilalui mereka memang sepi dan hanya jalan lurus sehingga Pak Angga pun mengendarai mobil dengan kecepatan yang konstan agar tak perlu mengganti gigi mobil dan tentu tangannya jadi tak perlu keluar dari dalam cd Gita. Pak Angga lihai mengobok-obok vagina Gita sampai ekspresi wajah Gita menunjukkan kalau dia sedang merasakan kenikmatan dari gerakan jari Pak Angga yang terus ‘mengobel-ngobel’ lubang vaginanya. Ac mobil yang dingin sama sekali tak terasa Gita, tubuhnya terlalu panas terbakar api birahinya sendiri.
“enak ya, Git?”, leceh Pak Angga.
“mmm…”, wajah Gita memerah.
“HHNNHHH !!!”, Pak Angga pun merasa tangannya terkena cairan yang sangat hangat. Pak Angga mengeluarkan tangannya setelah rasanya sudah tak ‘diguyur’ lagi. Gita memandangi Pak Angga yang sedang asik mengulumi tangannya sendiri. Pak Angga menatap mata Gita yang sayup-sayup menatapnya. Wajah Gita merah sekaligus wajah seseorang yang kecape’an.
“Paaakhhh…”, eluh Gita saat Pak Angga menyelipkan tangannya lagi. Gita pun pasrah, terlalu lemas untuk mengeluarkan tangan Pak Angga yang sedang menjamah daerah pribadinya lagi. Gita hanya bisa merapatkan kedua pahanya, tapi sepertinya tak membuat Pak Angga berhenti. Pak Angga terus semangat merogoh celana dalam muridnya yang manis itu agar ‘kesadaran’nya tak kembali sehingga Gita bisa dibawa ke tempat yang diinginkan Pak Angga.
Pak Angga keluar mobil dan langsung menggendong Gita ke dalam kamar begitu sampai di rumahnya (rumah Pak Angga). Pak Angga menaruh Gita di ranjangnya. Tanpa buang-buang waktu, Pak Angga langsung menelanjangi Gita. Pak Angga tak menyangka dia bisa mendapatkan kesempatan lagi untuk melihat tubuh indah nan montok Gita tanpa terhalang seragam SMUnya. Gita hanya terkulai pasrah di ranjang Pak Angga dengan kakinya yang agak menggantung di pinggir ranjang. Terlalu lemas untuk bergerak, setelah 2x orgasme di perjalanan tadi. Lagipula, otak Gita malah menginginkan Pak Angga untuk cepat-cepat menjamahnya. Pak Angga mulai melucuti pakaiannya sendiri. Pemandangan yang terekam baik dalam ingatan Gita pun akhirnya menjadi kenyataan. Batang tumpul dengan warna merah muda di ujungnya serta urat-urat yang menghiasi batang itu kini berada di hadapan Gita lagi. Nafsu Pak Angga benar-benar memuncak, pandangan matanya tak pernah pindah dari daerah kewanitaan Gita. ‘celah’ itu benar-benar mengundang nafsu Pak Angga sampai ke tingkat maksimal. Meski Pak Angga sudah pernah melihatnya, tapi nafsu Pak Angga malah menjadi 2x lipat karena Pak Angga ingat betapa nikmatnya liang kewanitaan Gita yang benar-benar rapat, kesat, dan wangi. Pak Angga jongkok dan melebarkan kedua paha Gita. Aroma kewanitaan Gita langsung memenuhi hidung Pak Angga. Meski sudah sangat bernafsu, Pak Angga malah dengan sabar mengelus-elus pangkal paha Gita dan beberapa kali menyibak bibir vagina Gita untuk melihat bagian dalam liang vagina Gita. Pak Angga seperti dokter kelamin yang sedang memeriksa alat vital Gita untuk menentukan masih bagus atau tidak.
“ccpphh…ccpphh…”. Pak Angga melancarkan kecupan berkali-kali di sekitar daerah kewanitaan Gita.
“hmmm…”. Tubuh Gita bergetar saat lidah Pak Angga menjalari kedua pangkal pahanya. Pak Angga kelihatan asik sekali melakukan slow foreplay dengan menciumi dari lutut, paha, sampai ke pangkal paha Gita lagi. Sepertinya, Pak Angga ingin merangsang Gita dengan perlahan, atau lebih tepatnya ‘menyiksa’ Gita perlahan. Dua jari Pak Angga menahan bibir vagina Gita agar tetap terbuka, sementara lidah Pak Angga sudah menyelip masuk dan menggelitiki rongga bagian dalam dari vagina Gita.
“aaahhhh…ooohhh..oohhh…”, Gita menjambak rambut Pak Angga dan merapatkan kedua pahanya.
Rasa nikmat itu menguasai pikiran Gita. Pak Angga pun melahap vagina Gita dengan sangat rakus sambil terus memainkan klitoris Gita. Tubuh Gita berkedut-kedut, desahan-desahan keluar dari mulut Gita, dan keringat pun semakin bercucuran dari tubuh Gita.
“srrruuppphhh !!”, bunyi seruputan berkali-kali terdengar. Usai menghilangkan ‘dahaga’nya, Pak Angga pun berdiri dan mengangkat tubuh Gita lebih naik ke atas ranjang. Pak Angga menindih tubuh mungil Gita.
“hmmpphhh..”. Bibir tipis Gita langsung dilumat dan diemut-emut habis-habisan oleh Pak Angga. Sementara tangan kiri Pak Angga asik meremasi payudara Gita yang sangat ranum itu. Pak Angga menyudahi cumbuannya ke bibir Gita, dan mulai menurun.
Leher Gita menjadi target Pak Angga selanjutnya. Nafsu Pak Angga semakin menjadi-jadi setelah menghirup aroma tubuh Gita. Tiada yang lebih menggairahkan daripada aroma tubuh seorang wanita yang sedang dilanda hawa nafsu karena aromanya begitu eksotis dan begitu sensual, mungkin seperti hormon pheromone yang terkenal sangat baik dalam memancing nafsu para ‘pejantan’. Ciuman, cupangan, jilatan, dan gigitan-gigitan kecil mendarat di kedua buah payudara Gita. Dan terakhir, perut Gita yang rata pun tak luput dari ‘perhatian’ Pak Angga. Pak Angga bertumpu pada lututnya sambil melebarkan kedua kaki Gita. Pak Angga sengaja menggesek-gesekkan ‘senjata’nya itu ke belahan bibir vagina Gita berkali-kali.
“masukk…kkiiinnhh…”, pinta Gita seperti orang yang frustasi.
“udah gak sabar ya kamu? hehe..”.
Wajah Gita memerah mendengar perkataan Pak Angga barusan. Dia sendiri tak mengerti, kenapa dia bisa berbicara seperti itu. Tapi, yang jelas tubuhnya sangat menginginkan benda tumpul itu masuk ke dalam. Pak Angga mendorong perlahan, kepala penisnya mulai menyelip masuk ke dalam celah sempit Gita. Batang besar Pak Angga pun menyusul di belakang kepalanya. Mendongkrak sela-sela bibir vagina Gita agar menyesuaikan dengan diameternya.
“eemm..eeemm..”, rasa menggelitik dirasakan Gita saat urat-urat yang menghiasi sekujur batang Pak Angga bergesekkan dengan dinding vaginanya.
“mm..enak gak Git? ha? enak gak?”, goda Pak Angga sambil mulai menarik lalu mendorong penisnya secara perlahan.
“mmhh…”, tentu Gita tak menjawab. Dia terlalu berfokus pada sensasi nikmat yang sedang terasa di selangkangannya. Ternyata ‘rasa’ yang diidam-idamkan alam bawah sadar Gita selama ini adalah rasa penuh di liang vaginanya. Rasa penuh terisi benda tumpul seperti yang sekarang sedang ia rasakan. Kedua insan manusia itu mulai seirama. Tubuh mereka bergerak dengan irama yang serasi. Kaki Gita melingkar di pinggang Pak Angga bagai ular phyton yang sedang melilit tubuh mangsanya.
“aahhh…Paakkhhh…”.
Pak Angga tidak mengindahkan tubuh Gita yang mengejang. Dia terus mengkilik-kilik vagina Gita dengan penisnya. Gita menarik Pak Angga ke pelukannya dan mendekapnya dengan kencang. Gita tak bisa mengontrol tubuhnya lagi, nikmatnya benar-benar tiada bandingannya. Keduanya begitu menikmati persetubuhan ini, desahan-desahan Gita di kuping Pak Angga menyemangatinya. Pak Angga tak melepaskan pelukannya karena tubuh Gita benar-benar empuk dan hangat, enak sekali untuk dipeluk. Gita pun tak melepaskan pelukannya.
“dikid lagi..hhh..”, Pak Angga mempercepat ritme genjotannya. Tak ada suara yang keluar dari mulut Gita, tapi wajahnya menunjukkan kenikmatan luar biasa yang sedang dirasakannya.
“GIITAAA !!”. Pak Angga menusukkan ‘senjata’nya sedalam-dalamnya.
“nnhhh…”. Tubuh keduanya sama-sama menegang, keduanya sama-sama sedang mendapatkan orgasmenya. Rahim Gita pun terasa hangat dan serasa disembur-sembur. Pak Angga pun merasa penisnya terendam cairan yang hangat.
“bapak sayang kamu, Git..”.
Mereka berdua berciuman dengan penuh kelembutan dan kemesraan. Kedua kelamin mereka juga masih bersatu dalam kehangatan karena cairan mereka. Pak Angga mencabut penisnya dan tidur di sebelah Gita. Gita hanya diam sambil mengatur nafasnya dan perlahan-lahan merapatkan kedua kakinya.
Pak Angga mengelus-elus kepala Gita. Dia merasa sedikit bersalah karena telah menyetubuhi muridnya sendiri, namun tak dapat dipungkiri, nikmat sekali merasakan tubuh ranum Gita yang montok itu. Tiba-tiba, tak disangka-sangka, Gita memiringkan tubuhnya dan memeluk Pak Angga. Awalnya, Pak Angga kaget, tapi lalu dia tersenyum dan merangkul Gita. Gita merasa aman dan nyaman di pelukan Gita, ditambah rasa lelah yang dirasakannya sehingga tanpa sadar Gita pun tertidur.
“maaf ya Gita..”, kata Pak Angga sambil mencium ubun-ubun Gita.
“hm?”. Gita terbangun karena mendengar suara hpnya. Pak Angga turun dari tempat tidur dan mengambil hp Gita yang ada di kantong hem seragam Gita.
“halo?”.
“halo, Gita..”.
“ada apa, Pah?”.
“Papa mau ngasih tau..hari ini Papa mau berangkat ke Australi..ada job disana..”.
“terus Papa pulangnya kapan?”.
“mungkin 1 minggu lagi..Papa baru pulang..”.
“terus Mbok Ira gimana?”.
“Mbok Ira lagi jenguk ibunya di kampung..jadi kamu di rumah sendirian…gak apa-apa kan?”.
“oh yaudah kalo gitu..Papa di sana hati-hati ya..”.
“iya..kamu juga hati-hati jaga rumah sendirian..”.
“iya..iya..daahh..”.
“siapa Git?”.
“ayah saya, Pak..”.
“kenapa?”.
“ayah saya pergi ke Australi..”.
“terus kamu di rumah sendiri?”.
“iya..sampe 1 minggu…”.
“kalo gitu..kamu nginep aja di sini…”, kata Pak Angga langsung menindih dan mencumbui leher Gita.
“Paakhh..jaangaanhh..”, lirih Gita dengan nada manja.
Gita tak bisa menolak serbuan Pak Angga sehingga persetubuhan pun tak bisa dihindari. Pak Angga tak menyia-nyiakan Gita. Jika sudah kuat kembali, dia langsung menggempur Gita. Gita kewalahan dengan nafsu Pak Angga yang sepertinya tak ada habisnya. Pak Angga benar-benar senang sekali ada Gita di rumahnya, dia bisa melampiaskan nafsunya yang selama ini terpendam. Dan kebetulan besok adalah hari minggu sehingga Gita pun harus melayani Pak Angga sampai esok hari. Dua hari menerima keperkasaan Pak Angga membuat Gita jadi pasrah, manja, dan tidak canggung lagi kepada Pak Angga. Pak Angga senang sekali menabur benih-benihnya di rahim Gita yang subur. Gita sebenarnya takut sekali akan hamil, tapi Gita jadi agak lega karena Pak Angga bilang kalau dirinya terbukti 100% mandul.
“Pak..Gita mau pulang..besok Gita kan sekolah..”, ujar Gita sambil kegelian karena tengkuk lehernya sedang diciumi Pak Angga.
“gimana kalo kamu nginep aja di sini sampai ayah kamu pulang? daripada kamu sendirian di rumah..hehe..”.
“nng…”.
“bapak anter kamu pulang dulu deh..biar kamu ambil seragam ‘n buku kamu..”.
“aku mauu tapi maluu…”, lagu itu tepat menggambarkan perasaan Gita sekarang.
“kalo diem aja berarti mau..ayo kamu pake seragam kamu dulu…”.
Muka Gita kembali memerah. Setelah berpakaian, mereka berdua menuju rumah Gita. Pak Angga geleng-geleng kepala melihat Gita yang sudah kembali berdandan. Manis sekali, sedap untuk dipandang. Gita dan Pak Angga kembali lagi ke rumah Pak Angga. Sejak saat itu, Gita hampir tak bisa menolak keinginan Pak Angga. Dan nasib Pak Angga memang beruntung, ayah Gita semakin sibuk di luar kota maupun luar negeri sehingga Pak Angga semakin leluasa meminta jatah ke Gita. Rahasia itu tertutup dengan sangat rapi, tak ada yang tahu rahasia mereka.
“Gita cepet..abis ini giliran kamu..”. Gita yang baru datang diantar Pak Angga langsung naik panggung. Gita hampir terlambat karena tadi dia habis ‘berlaga’ dengan Pak Angga. Saking buru-burunya, Gita sampai lupa memakai celana dalam dan celana pendeknya. Gita mulai bernyanyi dan bergoyang-goyang serta berjingkrak-jingkrak. Gita sama sekali tak menyadari kalau sperma Pak Angga yang tadi menggenangi rahimnya jadi ‘bocor’. Ada beberapa tetes yang keluar dan ada yang mengalir ke kakinya. Seorang fans yang memang iseng memotret ke dalam rok Gita pun tersenyum saat melihat hasil potretannya. Orang itu hanya berharap dapat melihat foto celana dalam Gita, tapi malah dapat foto vagina Gita yang belepotan sperma. Tentu foto berharga itu akan digunakan sebaik-baiknya oleh orang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar