Jumat, 27 Januari 2012

Laura Basuki: Magically In Love




Acha Septriasa: Potret Artis Masa Kini

Acha
Dentuman musik menghentak jantung setiap pengunjung cafe itu. Beat kencang sang DJ terlebih dengan beragam campuran alkohol ataupun psikotropika membuat pengunjung Trance atau Nighters semakin fly high. Kebanyakan pengunjung adalah kumpulan gadis-gadis belia yang masih berusia belasan tahun, mereka dan beberapa temannya tampak menikmati betul suasana itu, dan seperti pada umumnya pengunjung Nightclub, pakaian yang dikenakan benar-benar mengundang birahi, rok yang sangat mini dan sebatang ‘menthol’ pada bibir sensual yang membuat diri semakin merasa seksi dan gaul. Beberapa pengunjung Café tersebut adalah para artis, baik itu yang sudah terkenal maupun yang baru naik daun, bahkan beberapa hanya seorang foto model yang berniat mencari om-om produser maupun seorang sutradara, agar bisa menaikkan karir hingga melambung tinggi. Tentu dengan semakin naik dan terkenal namanya, bayaran atas profesionalismenya pun akan semakin berlipat ganda.
Adapun pengunjung lainnya berprofesi sebagai Paparazi, yang kerap kali mencari berita untuk di dramatisir dalam sebuah tabloid atau harian, dengan foto sebagai objeknya. Seperti halnya pria yang bernama Paimin ini, dia berasal dari kampung. Pekerjaan Paimin sebelumnya adalah fotographer kampung, jadi dengan modal itulah dia nekat untuk mengadu nasib di Jakarta kota Metropolitan ini. Dia punya kenalan di Jakarta ini, teman sekampungnya bekerja di salah satu tabloid yang sudah terkenal, lebih bonafit dibanding perusahaan yang mengolah tabloid tempatnya bekerja. Pada temannya itu sementara dia menebeng untuk Kost dan belajar mendalami keahlian pekerjaan yang diburunya dan juga disenangi olehnya. Pendalaman keahlian itu tidaklah memakan waktu lama dikarenakan Paimin bisa dikatakan ‘otak encer’, walaupun dari kampung. Oleh temannya ini pula Paimin dimodalkan Kamera mini digital, pemilik tabloid hanya cukup membayar Paimin dari hasil jepretan, memberikan uang saku untuk keperluan di luar serba-serbi, uang transport juga uang makan, tetapi tidak gaji tetap.

Gita Gutawa: The Beginning of the End

31 Januari 2010
Gita Gutawa

”kriing !!! kriing !!!”.

“plek…”.

“hooaahhmmm…”.

Jam weker itu kembali berdetak seperti biasa setelah belnya di tekan. Seorang gadis manis baru saja bangun dari tidurnya. Masih dalam keadaan mengantuk, dia mengumpulkan kesadarannya. Begitu merasa sudah segar, dia langsung bangun dari tempat tidur. Merapikan tempat tidurnya dan menaruh bantal dan guling dengan rapih. Ranjang itu sudah rapih lagi, tidak terlihat kalau baru habis dipakai.

I Know Who Raped Me

Sabtu, pukul 20.00

[Dasar laki-laki brengsek !!], gadis itu mengumpat dalam hati dan menekan pedal gas Toyota Harier-nya dalam-dalam.

Ia menelusuri jalan dengan pikiran melayang-layang, terbayang kejadian tadi. Ketika melihat Rully tunangannya, menyuapkan makanan ke seorang wanita dengan mesra di sebuah café. Ia juga ingat sewaktu mendekati mereka, wajah Rully langsung pucat dan tergagap-gagap saat menjelaskan, yang diyakini olehnya tidak ada sepatah katapun yang dapat dipercaya. Oleh sebab itu, ia menyetir dengan kecepatan tinggi menuju rumah sahabatnya untuk meluapkan kekesalan hati mencurahkan permasalahan.


Karena Nila Setitik, Rusak Susu Sebelanga

“Kong, tolong dong. Satu bulaan aja Minah nggak bayar. Ayo dong, Engkong ganteng deh…” rayu Aminah, salah seorang penyewa kost ‘Melati’ yang bermasalah dalam hal iuran bulanan.

“Nggak bisa Neng, pan aturannya udah jelas dari pertama nge-kost. Silahkan angkat kaki dari sini mulai besok.” tegas lelaki udzur pemilik kost-kostan, tanpa memberi keringanan barang sedikit pun.

Seorang gadis cantik yang kamarnya tepat di sebelah sedang bersantai, asyik menguping perselisihan tersebut. Akhir dari perbincangan, Aminah, mahasiswi yang sama sekali tak menarik kaum Adam untuk melirik itu pergi sambil bersungut-sungut. Menuruni anak tangga tinggalkan si orang tua lawan bicaranya penuh dengan rasa benci.